Pada saat saya pulang kampung ke daerah Jawa Tengan tepatnya di Gombong tempat dimana ke-dua orang tua saya dilahirkan. Sesampainya di Gombong hal pertama yang ada dipikiran saya adalah berkujung ke tempat wisata yang berbau sejarah.
Dari beberapa tempat wisata yang terdapat di gombong seperti Taman Tirta Manggala, Waduk Sempor, Pantai Karang Bolong, Pantai Ayah, Pantai Logending, Goa Jati Jajar, Goa Petruk, Sandang Pesut dan Benteng Vander Wijck.
Mungkin kalian ada yang tahu manakah yang paling kuat tentang wisata bersejarah..?? Yah Benteng Vander Wijck adalah pilihan yang tepat untuk berwisata yang banyak sejarahnya dan kebetulan saudara saya ada yang bekerja di tempat ini, saya pun langsung bertanya-tanya tentang sejarah benteng ini kepadanya.
Lik Anto panggilan saya kepadanya, dia sudah lebih dari 5 tahun bekerja di Benteng Vander Wijck yah setidaknya sudah tahu banyak tentang sejarahnya Benteng ini. Saya pun langsung bertanya “Mengapa Benteng ini di namakan Benteng Vander Wijck..??”, nama Van Der Wijck diambil dari seorang perwira Belanda yang menjadi komandan dan dinilai cukup berjasa karena berhasil mengalahkan pejuang Aceh. Saat pendudukan Jepang, benteng ini juga sempat dijadikan tempat pelatihan tentara PETA. Benteng Van Der Wijck mengungkapkan sejarah di balik benteng Belanda yang cukup tersohor di daerah Gombong, Kebumen ini ungkapnya.
Benteng ini memiliki 16 barak yang dulunya digunakan sebagai asrama tentara Belanda. Di zaman pendudukan Jepang, benteng ini dipakai untuk melatih prajurit PETA (Pembela Tanah Air). Mereka ditempatkan di barak-barak di sekitar benteng, sedangkan bagian utama benteng digunakan sebagai gudang penyimpanan bahan makanan, senjata, dan amunisi.
Objek wisata sejarah yang terletak di Gombong ini memiliki bentuk yang unik, yakni berbentuk segi delapan dan memiliki dua lantai. Dan di bagian atap benteng terdapat bangunan yang berfungsi sebagai tempat pengintaian.
Seiring dengan perginya Jepang dari Indonesia, benteng ini pun resmi menjadi salah satu warisan sejarah negara Indonesia. Untuk menarik minat pengunjung lokal dan mancanegara, benteng Belanda ini dipoles demi memberikan nuansa yang baru.
Gedung ini sebenarnya milik TNI dan diserahkan untuk dikelola oleh pihak swasta tahun 1998. Saat itu Belanda lebih lama menduduki Indonesia dan dibangunlah benteng pertahanan ini ungkap lik Anto kepada saya.
Nah Pada tahun 2000 benteng ini direnovasi. Dibangun dunia rekreasi anak, gedung pertemuan, dan hotel untuk melengkapi sarana yang ada. Dari pihak TNI tidak memperbolehkan untuk mengubah bentuk, dan kamar hotel tersebut dahulunya memang barak tentara.
Secara keseluruhan, hotel yang terdapat di benteng Belanda ini tidaklah dibuka untuk umum, melainkan pada momen tertentu saja. Sasarannya memang lebih kepada rombongan. Bidikan kami menuju pada LSM, bahkan World Bank pun sempat mengadakan seminar di benteng ini. Benteng ini sering digunakan untuk diklat, dan untuk acara wedding juga bisa lakukan di gedung pertemuan.
Namun saya juga pernah menginap di hotel ini pada saat itu momennya lagi perpisahan sekolah tour GOMGONG-WONOSOBO saat saya duduk di kelas 3 SMIP, jadi wisata kali ini yang ke dua bagi saya hehee...
Ternyata tak seperti yang saya bayangkan berwisata ke benteng tua yang menyeramkan, benteng yang di bangun pada tahun 1818 ini mempunyai luas 3.606 meter persegi dengan tinggi 9,67 meter sebagai pertahanan bangsa Belanda pada zaman penjajahan dahulu. Ternyata sangat bersahat dengan dunia anak. Bayangkan saja di bangunan yang tua ini terdapat rekreasi anak, kolam renang sampai dengan hotel.
Fasilitas yang ditawarkan di tempat ini terbilang lengkap untuk kota sekelas kebumen. Seperti kereta yang berada di atas benteng, kereta kencana, kereta mini, kereta listrik, perahu dayung, jet putar, komedi putar, mobil-mobilan anak, hingga kolam renang untuk anak pun tersedia di tempat ini. Seolah-olah kita tidak sedang berwisata di Benteng tua, melainkan seperti berwisata di Ancol yang terdapat Dufan, Gelanggang Samudra, Samudra Atelantis dan Hotel haa..haaaa....
Berbagai acara menarik pun kerap diselenggarakan di area benteng Belanda ini, di antaranya pesta kembang api menyambut Tahun Baru atau live music selama 7 hari, 7 malam dalam rangka menyambut momen Idul Fitri.
Untuk menikmati sebuah catatan perjalanan sejarah di Benteng Van Der Wijck, kaian cukup membayar Rp 4.000 pada weekday dan Rp 5.000 di hari libur. Tapi itu belum termaksud jika kalian ingin naik permainan yang ada di dalam benteng atau pun masuk ke kolam renang.
Benteng Vander Wijck adalah pusat hiburan bagi warga Gombong. Dijamin kalian yang sudah pernah berwisata ke Benteng Vander Wijck tidak menyesal, Karena selain berwisata kalian juga banyak tahu tentang sejarahnya dari Benteng ini, saya aja sudah dua kali berkunjung hee..hee.. Saatnya kalian mengetahui sejarah lebih dalam sambil berlibur bersama keluarga.
Senin, 12 Maret 2012
KERAGAMAN BUDAYA DARI PELOSOK TANAH AIR BISA DAPAT
Dua tahun terakhir, produk kerajinan adat terpencil, terutama dari Kalimantan Timur, bisa di pesan melalui Komunitas Adat Terpencil (KAT) Center, Kementerian Sosial di Jakarta. Seperti topi Seraung khas Kalimantan bisa dipesan dengan harga Rp 45.000 hingga Rp 150.000. Topi berhias manik-manik ini ditawarkan dalam berbagai bentuk dan warna. Perempuan Dayak biasanya mengayak topi seraung untuk dipakai sebagai penutup kepala ketika ke hutan dan digunakan pada upacara adat. Kini, topi seraung pun dihadirkan sebagai hiasan dinding karena keelokan motifnya.
Bagian dalam topi seraung terbuat dari anyaman daun kering yang kemudian dijahit dengan tangan. Lingkaran topi di perkokoh dengan lidi dari daun kelapa. Bagian permukaan topi kemudian dilapisi potongan kain warna-warni sebelum diperindah dengan hiasan manik-manik. Manik-manik biasanya dirangakai menjadi motif-motif sulusr khas Dayak.
Sabagai perajin topi seraung juga menambahkan hiasan sulaman tangan pada permukaan topi. Warna topi seraung selalu mencolok, seperti daun warna hijau, kuning, orange hingga merah dan biru . Warna-warni topi seraung semakin marak ketika dipadukan dengan kilau aneka warna manik-manik.
Neneng Tresnawati seorang Kepala Seksi Penggalian Potensi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil “ Kami tidak menjual, hanya menjembatani pemasaran antara dunia bisnis dan perajin di suku terpencil. Perajin sering tidak sadar bahwa produk mereka punya nilai jual yang tinggi”.
Hiasan manik-manik sejatinya memang lekat dengan kehidupan sehari-hari suku terpencil di Kalimantan. Selain topi Seraung, hiasan manik-manik juga digunakan untuk menghiasa usana adat hingga dirangkai menjadi kalung dan gelang.
Busana adat Dayak berhias manik-manik yang dipajang di KAT Center tak hanya berbahan kain, ada juga berbahan kulit kayu. Keelokan perempuan dayak semakin kentara dengan paduan busana adat, aneka gelang dan kalung manik-manik. Pria Dayak makin gagah menyandang tameng dan tombak.
Hiasana kalung manik-manik dengan bandul gigi binatang tiruan bisa dipesan di KAT Center dengan harga sekitar Rp 200.000. Alat tradisional lain yang dilapisi haiasan manik adalah gendongan anak hanya diproduksi oleh masyarakat suku Dayak Kenya. Gendongan terbuat dari kayu yang dilapisi ukiran atau sulaman manik-manik dan uang logam.
Suku Dani dan Asmat
Kat Center juga sering memamerkan artefak dan barang kuno dari suku terpencil. Tengkorak asli kepala suku Dani dari Papua menjadi karya unggulan setiap kali pameran digelar.
Peralatan rumah tangga suku terpencil tak kalah menarik untuk dilirik. Peralatan dapur seperti piring dan sendok dari Nusa Tenggara Timur, tampak cantik karena semua terbuat dari kayu. Ada pula cangkir dan teko seluruhnya terbuat dari kayu bulian asal Kalimantan Barat. Gendongan bayi dari kayu yang diuat suku Dayak Kalimantan Timur juga tak kalah cantik.
Ignasius seorang pengukir kayu dari suku Asmat di Papua, mengatakan, perajin daerah terpencil seperti Asmat memang terkendala pemasaran, padahal tanah Papua sangat kaya dengan aneka ukiran kayu yang terinspirasi dari alam. “Kami terkendala transportasi untuk memasarkan produk”.
Menurut Ignasius, suku Asmat terlahir seagai seorang pengukir patung. Anak-anak hingga orang tua Asmat bisa memahat aneka bentuk makhluk hidup tanpa terlebih dahulu membuat pola atau mencontoh gambar. Mereka hanya membutuhkan bahan baku berupa kayu besi atau kayu putih.
Ukiran sangat unik dan biasanya meyerupai patung karakter makhluk hidup yang diuat bersusun hingga maksimal lima lapis. Tak hanya patung manusia, pengukir kayu asmat juga membuat patung berwujud binatang seperti burung, ikan dan biawak. Agar lebih menarik patung diahiasai bulu atau ijuk.
Tiap patung iasanya membutuhkan waktu pengerjaan hingga satu pekan. Karena murni buatan tangan, setiap patung memiliki ciri khas masing-masing dan tak memiliki kembaran. Selain ukiran kaya, perajin dari suku asmat membuat tas anyaman dari daun sagu hingga aksesoris, seperti gelang dari burung kaswari.
Selama ini suku Asmat hanya mampu menjual produk patung mereka di provinsi Papua rentang harga jual juta kata Ignasius. Kehadiran KAT Center di Jakarta, menjadi salah satu jembatan bagi pemasaran prosuk dari suku Asmat.
Terbuka Untuk Umum
Ruang pamer KAT Center di lantai I Gedung Kementerian Sosial ini terbuka untuk umum pada jam kerja. Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil telah memberdayakan suku terpencil di 2.971 lokasi di Tanah Air. Sebanyak 27 provinsi di Indonesia masih digolongkan sebagai daerah yang memiliki komunitas adat terpencil.
Kekayaan komunitas adat terpencil inilah yang bisa dengan mudah kita lihat di KAT Center. “Kami ingin menghimpun dan memperlihatkan keragaman kebudayaan dan alat keseharian dari suku-suku terpencil yang selama ini belu dikenal oleh dunia bisnis”, kata Neneng.
Sumber : Koran kompas
Bagian dalam topi seraung terbuat dari anyaman daun kering yang kemudian dijahit dengan tangan. Lingkaran topi di perkokoh dengan lidi dari daun kelapa. Bagian permukaan topi kemudian dilapisi potongan kain warna-warni sebelum diperindah dengan hiasan manik-manik. Manik-manik biasanya dirangakai menjadi motif-motif sulusr khas Dayak.
Sabagai perajin topi seraung juga menambahkan hiasan sulaman tangan pada permukaan topi. Warna topi seraung selalu mencolok, seperti daun warna hijau, kuning, orange hingga merah dan biru . Warna-warni topi seraung semakin marak ketika dipadukan dengan kilau aneka warna manik-manik.
Neneng Tresnawati seorang Kepala Seksi Penggalian Potensi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil “ Kami tidak menjual, hanya menjembatani pemasaran antara dunia bisnis dan perajin di suku terpencil. Perajin sering tidak sadar bahwa produk mereka punya nilai jual yang tinggi”.
Hiasan manik-manik sejatinya memang lekat dengan kehidupan sehari-hari suku terpencil di Kalimantan. Selain topi Seraung, hiasan manik-manik juga digunakan untuk menghiasa usana adat hingga dirangkai menjadi kalung dan gelang.
Busana adat Dayak berhias manik-manik yang dipajang di KAT Center tak hanya berbahan kain, ada juga berbahan kulit kayu. Keelokan perempuan dayak semakin kentara dengan paduan busana adat, aneka gelang dan kalung manik-manik. Pria Dayak makin gagah menyandang tameng dan tombak.
Hiasana kalung manik-manik dengan bandul gigi binatang tiruan bisa dipesan di KAT Center dengan harga sekitar Rp 200.000. Alat tradisional lain yang dilapisi haiasan manik adalah gendongan anak hanya diproduksi oleh masyarakat suku Dayak Kenya. Gendongan terbuat dari kayu yang dilapisi ukiran atau sulaman manik-manik dan uang logam.
Suku Dani dan Asmat
Kat Center juga sering memamerkan artefak dan barang kuno dari suku terpencil. Tengkorak asli kepala suku Dani dari Papua menjadi karya unggulan setiap kali pameran digelar.
Peralatan rumah tangga suku terpencil tak kalah menarik untuk dilirik. Peralatan dapur seperti piring dan sendok dari Nusa Tenggara Timur, tampak cantik karena semua terbuat dari kayu. Ada pula cangkir dan teko seluruhnya terbuat dari kayu bulian asal Kalimantan Barat. Gendongan bayi dari kayu yang diuat suku Dayak Kalimantan Timur juga tak kalah cantik.
Ignasius seorang pengukir kayu dari suku Asmat di Papua, mengatakan, perajin daerah terpencil seperti Asmat memang terkendala pemasaran, padahal tanah Papua sangat kaya dengan aneka ukiran kayu yang terinspirasi dari alam. “Kami terkendala transportasi untuk memasarkan produk”.
Menurut Ignasius, suku Asmat terlahir seagai seorang pengukir patung. Anak-anak hingga orang tua Asmat bisa memahat aneka bentuk makhluk hidup tanpa terlebih dahulu membuat pola atau mencontoh gambar. Mereka hanya membutuhkan bahan baku berupa kayu besi atau kayu putih.
Ukiran sangat unik dan biasanya meyerupai patung karakter makhluk hidup yang diuat bersusun hingga maksimal lima lapis. Tak hanya patung manusia, pengukir kayu asmat juga membuat patung berwujud binatang seperti burung, ikan dan biawak. Agar lebih menarik patung diahiasai bulu atau ijuk.
Tiap patung iasanya membutuhkan waktu pengerjaan hingga satu pekan. Karena murni buatan tangan, setiap patung memiliki ciri khas masing-masing dan tak memiliki kembaran. Selain ukiran kaya, perajin dari suku asmat membuat tas anyaman dari daun sagu hingga aksesoris, seperti gelang dari burung kaswari.
Selama ini suku Asmat hanya mampu menjual produk patung mereka di provinsi Papua rentang harga jual juta kata Ignasius. Kehadiran KAT Center di Jakarta, menjadi salah satu jembatan bagi pemasaran prosuk dari suku Asmat.
Terbuka Untuk Umum
Ruang pamer KAT Center di lantai I Gedung Kementerian Sosial ini terbuka untuk umum pada jam kerja. Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil telah memberdayakan suku terpencil di 2.971 lokasi di Tanah Air. Sebanyak 27 provinsi di Indonesia masih digolongkan sebagai daerah yang memiliki komunitas adat terpencil.
Kekayaan komunitas adat terpencil inilah yang bisa dengan mudah kita lihat di KAT Center. “Kami ingin menghimpun dan memperlihatkan keragaman kebudayaan dan alat keseharian dari suku-suku terpencil yang selama ini belu dikenal oleh dunia bisnis”, kata Neneng.
Sumber : Koran kompas
SEJARAH MENGAPA SINGASARI DAN MAJAPAHIT MEMILIH BINTING..??
Cakrawala Manggala Jawa, Amukti Palapa dan Cakrawala Manggala Nusantara –tiga doktrin “Persatuan nasional” Pulau Jawa rupanya sudah bertunas pada awal abad XVIII, zaman Kerajaan Singasari.
Di kawasan sekitar bukit kecil terdapat tumpukan batu bata dan sisa-sisa patirtan itu adalah ide Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit “Raya” dan bersatu terus menerus berkobar dari abada XIII hingga XVIII.
Inilah tumpukan narasi purba dari Dusun Biting, Desa Kutorenan, Kecamatan Sukodono, Kaupaten Lumajang, Jawa Timur. Puing-puing bata itu bertumpuk di seputar lubang berdingding bata bersegi empat sama sisi berukuran sekitar 4 x 4 meter.
Gundukan yang kini menjadi kebun itu di duga bekas bangunan pos suatu benteng pertahanan. Bangunan itu bagian dari pagar tembok sepanjang ratusan meter yang terletak di tepi Sungai Bondoyudo. Menurut Pak Goban seorang wakil juru kuci situs Biting bercerita tahun 1960-an, ia masih melihat bangunan sisa-sisa pagar tembok tersebut dan di jarak sekitar 1.500 meter dari puing bata tersebut terdapat bekas bangunan patirtan, tempat mandi dan menyucikan diri. Bangunan kedua itu kini tertumpuh tanah . Tinggal sumber air yang masih sering di manfaatkan masyarakat untuk ritual keagamaan karena di pandang air suci.
Guru besar sejarah Universitas Negri Surabaya Aminudin Kasdi dan Dwi Cahyono seorang antarpolog dari Universitas Negri Malang mengatakan , situs Biting merupakan sisa peninggalan Kerajaan Lamajang, Biting kata bahasa Jawa yang berarti Benteng.
Situs benteng merupakan situs langka. Saat Kerajaan Singasari di perintah Raja Wisnu Wardana pada abad XII dalam kerangka doktrin politik Cakrawala Manggala Jawa atau kesatuan Pulau Jawa itulah raja mengangkat delapan Narariya atau raja bawahan. Salah satu di antaranya, sebagaimana disebut dalam prasasti Mula Malurung tahun 1255 adalah Narariya Kirana di Lamajang.
Secara geografis, kawasan Biting datar sehingga lebih mudah membangun infrastruktur kota. Wilayah itu dikelilingi Sungai Bondoyudo di sisi utara, sungai Winong (timur), Sungai Cangkring (selatan) dan Ploso (barat). Sungai sebagai benteng alami jelas temuan yang cerdik.
Keberadaan Kerajaan Lamajang juga disebut dalam Prasasti Kadudu (1294), berisi perjanjian Raden Wijaya dengan Narariya Madura Adipati Wirajaya alias Banyak Wide. Wiraraja bahkan bersedia membantu Wijaya menghancurkan Jayakatwang dari Kerajaan Gelang-gelang (Kediri) dan tentara Tartar.
Wiajaya menentang dan mendirikan Kerajaan Majapahit dengan pusatnya di Mojokerto. Arya Wiraraja mendapat hadian sebelah timur di Lamajang. Setelah Wijaya meninggal dan digantikan Jayanegara , lantas dilanjutkan Triuwana Tunggadewi. Pada masa dua raja ini, stabilitas Majapahit terkoyak. Terjadi pemberontakan raja-raja kecil, termasuk Lamajang yang dikenal dengan Perang Paragrek.
Peristiwa safari Raja Hayam Wuruk, pengganti Tribuasana Tunggadewi, ke berbagai daerah, seperti Krepa (Panarukan), Puger (Jember), Balitar (Blitar) dan Lamajang tercatat dalam kitab Negarakertagama, menurut Dwi, salah satu tujuannya adalah melakukan integrasi dalam kerangka doktrin politik: Amukti Palapa. Suatu doktrin yang berbenang merah dengan Cakrawala Manggala Jawa, lalu disambung Raja Kartanegara dari Singasari dengan Cakrawala Manggala Nusantara.
Kerajaaan Lamajang masih menjadi salah satu pusat pemerintahan penting sampai abad XVII. “Lamajang menjadi wilayah yang diperebutkan Mataran dengan Bali”, kata Aminuddin. HJ De Fraaf dalam buku Puncak Kekuasaan Mataram mencatat perang mataram versus Bali terjadi sekitar tahun 1635.
Masyarakat Biting punya versi tersendiri tentang situs tersebut. Situs itu dianggap peninggalan Kerajaan Lamajang dengan rajanya, Prabu Menak Koncar. Ada yang mengatakan nama Menak koncar ini adalah menteri pada zaman Majapahit.
Menak Koncar yang memiliki guru Sayid Abdurrahman, dikuburkan di kompleks pekuburan di Biting bersama Arya Wiraraja, Ratu Majapahit Kencono Wungu, beserta menterinya, Patih Lugender, dan marwulan, duta Majapahit untuk mengalahkan pemberontak Adipati Menakjinggo dari Blambang.
Bentuk kuburan mereka layaknya kuburan orang Muslim yang dikelilingi bata kuno, sebagaimana pos panginukan. Masih sebatas cerita tutur, nama Menak Koncar itu berkembang di Melayu dengan nama Hikayat Amir Hamzah.
Bisa dipastikan, munculnya tokoh fisik Menak Koncar adalah karena pengarah Islam. “Artinya, telah terjadi diakronis sejarah situs Biting”, kata Dwi. Bangunan pamuksan (tempat muksanya) Prabu Jayabaya pun di bangundi Pagu, Kediri.
Diakronis seperti itu ada “hikmanya”. Masyarakat lantas merasa jadi bagian dari sejarah lokal tersebut kanrena sebagian tokoh “legenda” itu adalah tokoh muslim. Tanpa pemahaman seperti itu, situs khazanah lintas masa ini mungkin sudah lenyap di telan bumi.
Sumber : Koran Kompas
Di kawasan sekitar bukit kecil terdapat tumpukan batu bata dan sisa-sisa patirtan itu adalah ide Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit “Raya” dan bersatu terus menerus berkobar dari abada XIII hingga XVIII.
Inilah tumpukan narasi purba dari Dusun Biting, Desa Kutorenan, Kecamatan Sukodono, Kaupaten Lumajang, Jawa Timur. Puing-puing bata itu bertumpuk di seputar lubang berdingding bata bersegi empat sama sisi berukuran sekitar 4 x 4 meter.
Gundukan yang kini menjadi kebun itu di duga bekas bangunan pos suatu benteng pertahanan. Bangunan itu bagian dari pagar tembok sepanjang ratusan meter yang terletak di tepi Sungai Bondoyudo. Menurut Pak Goban seorang wakil juru kuci situs Biting bercerita tahun 1960-an, ia masih melihat bangunan sisa-sisa pagar tembok tersebut dan di jarak sekitar 1.500 meter dari puing bata tersebut terdapat bekas bangunan patirtan, tempat mandi dan menyucikan diri. Bangunan kedua itu kini tertumpuh tanah . Tinggal sumber air yang masih sering di manfaatkan masyarakat untuk ritual keagamaan karena di pandang air suci.
Guru besar sejarah Universitas Negri Surabaya Aminudin Kasdi dan Dwi Cahyono seorang antarpolog dari Universitas Negri Malang mengatakan , situs Biting merupakan sisa peninggalan Kerajaan Lamajang, Biting kata bahasa Jawa yang berarti Benteng.
Situs benteng merupakan situs langka. Saat Kerajaan Singasari di perintah Raja Wisnu Wardana pada abad XII dalam kerangka doktrin politik Cakrawala Manggala Jawa atau kesatuan Pulau Jawa itulah raja mengangkat delapan Narariya atau raja bawahan. Salah satu di antaranya, sebagaimana disebut dalam prasasti Mula Malurung tahun 1255 adalah Narariya Kirana di Lamajang.
Secara geografis, kawasan Biting datar sehingga lebih mudah membangun infrastruktur kota. Wilayah itu dikelilingi Sungai Bondoyudo di sisi utara, sungai Winong (timur), Sungai Cangkring (selatan) dan Ploso (barat). Sungai sebagai benteng alami jelas temuan yang cerdik.
Keberadaan Kerajaan Lamajang juga disebut dalam Prasasti Kadudu (1294), berisi perjanjian Raden Wijaya dengan Narariya Madura Adipati Wirajaya alias Banyak Wide. Wiraraja bahkan bersedia membantu Wijaya menghancurkan Jayakatwang dari Kerajaan Gelang-gelang (Kediri) dan tentara Tartar.
Wiajaya menentang dan mendirikan Kerajaan Majapahit dengan pusatnya di Mojokerto. Arya Wiraraja mendapat hadian sebelah timur di Lamajang. Setelah Wijaya meninggal dan digantikan Jayanegara , lantas dilanjutkan Triuwana Tunggadewi. Pada masa dua raja ini, stabilitas Majapahit terkoyak. Terjadi pemberontakan raja-raja kecil, termasuk Lamajang yang dikenal dengan Perang Paragrek.
Peristiwa safari Raja Hayam Wuruk, pengganti Tribuasana Tunggadewi, ke berbagai daerah, seperti Krepa (Panarukan), Puger (Jember), Balitar (Blitar) dan Lamajang tercatat dalam kitab Negarakertagama, menurut Dwi, salah satu tujuannya adalah melakukan integrasi dalam kerangka doktrin politik: Amukti Palapa. Suatu doktrin yang berbenang merah dengan Cakrawala Manggala Jawa, lalu disambung Raja Kartanegara dari Singasari dengan Cakrawala Manggala Nusantara.
Kerajaaan Lamajang masih menjadi salah satu pusat pemerintahan penting sampai abad XVII. “Lamajang menjadi wilayah yang diperebutkan Mataran dengan Bali”, kata Aminuddin. HJ De Fraaf dalam buku Puncak Kekuasaan Mataram mencatat perang mataram versus Bali terjadi sekitar tahun 1635.
Masyarakat Biting punya versi tersendiri tentang situs tersebut. Situs itu dianggap peninggalan Kerajaan Lamajang dengan rajanya, Prabu Menak Koncar. Ada yang mengatakan nama Menak koncar ini adalah menteri pada zaman Majapahit.
Menak Koncar yang memiliki guru Sayid Abdurrahman, dikuburkan di kompleks pekuburan di Biting bersama Arya Wiraraja, Ratu Majapahit Kencono Wungu, beserta menterinya, Patih Lugender, dan marwulan, duta Majapahit untuk mengalahkan pemberontak Adipati Menakjinggo dari Blambang.
Bentuk kuburan mereka layaknya kuburan orang Muslim yang dikelilingi bata kuno, sebagaimana pos panginukan. Masih sebatas cerita tutur, nama Menak Koncar itu berkembang di Melayu dengan nama Hikayat Amir Hamzah.
Bisa dipastikan, munculnya tokoh fisik Menak Koncar adalah karena pengarah Islam. “Artinya, telah terjadi diakronis sejarah situs Biting”, kata Dwi. Bangunan pamuksan (tempat muksanya) Prabu Jayabaya pun di bangundi Pagu, Kediri.
Diakronis seperti itu ada “hikmanya”. Masyarakat lantas merasa jadi bagian dari sejarah lokal tersebut kanrena sebagian tokoh “legenda” itu adalah tokoh muslim. Tanpa pemahaman seperti itu, situs khazanah lintas masa ini mungkin sudah lenyap di telan bumi.
Sumber : Koran Kompas
Langganan:
Postingan (Atom)