Cakrawala Manggala Jawa, Amukti Palapa dan Cakrawala Manggala Nusantara –tiga doktrin “Persatuan nasional” Pulau Jawa rupanya sudah bertunas pada awal abad XVIII, zaman Kerajaan Singasari.
Di kawasan sekitar bukit kecil terdapat tumpukan batu bata dan sisa-sisa patirtan itu adalah ide Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit “Raya” dan bersatu terus menerus berkobar dari abada XIII hingga XVIII.
Inilah tumpukan narasi purba dari Dusun Biting, Desa Kutorenan, Kecamatan Sukodono, Kaupaten Lumajang, Jawa Timur. Puing-puing bata itu bertumpuk di seputar lubang berdingding bata bersegi empat sama sisi berukuran sekitar 4 x 4 meter.
Gundukan yang kini menjadi kebun itu di duga bekas bangunan pos suatu benteng pertahanan. Bangunan itu bagian dari pagar tembok sepanjang ratusan meter yang terletak di tepi Sungai Bondoyudo. Menurut Pak Goban seorang wakil juru kuci situs Biting bercerita tahun 1960-an, ia masih melihat bangunan sisa-sisa pagar tembok tersebut dan di jarak sekitar 1.500 meter dari puing bata tersebut terdapat bekas bangunan patirtan, tempat mandi dan menyucikan diri. Bangunan kedua itu kini tertumpuh tanah . Tinggal sumber air yang masih sering di manfaatkan masyarakat untuk ritual keagamaan karena di pandang air suci.
Guru besar sejarah Universitas Negri Surabaya Aminudin Kasdi dan Dwi Cahyono seorang antarpolog dari Universitas Negri Malang mengatakan , situs Biting merupakan sisa peninggalan Kerajaan Lamajang, Biting kata bahasa Jawa yang berarti Benteng.
Situs benteng merupakan situs langka. Saat Kerajaan Singasari di perintah Raja Wisnu Wardana pada abad XII dalam kerangka doktrin politik Cakrawala Manggala Jawa atau kesatuan Pulau Jawa itulah raja mengangkat delapan Narariya atau raja bawahan. Salah satu di antaranya, sebagaimana disebut dalam prasasti Mula Malurung tahun 1255 adalah Narariya Kirana di Lamajang.
Secara geografis, kawasan Biting datar sehingga lebih mudah membangun infrastruktur kota. Wilayah itu dikelilingi Sungai Bondoyudo di sisi utara, sungai Winong (timur), Sungai Cangkring (selatan) dan Ploso (barat). Sungai sebagai benteng alami jelas temuan yang cerdik.
Keberadaan Kerajaan Lamajang juga disebut dalam Prasasti Kadudu (1294), berisi perjanjian Raden Wijaya dengan Narariya Madura Adipati Wirajaya alias Banyak Wide. Wiraraja bahkan bersedia membantu Wijaya menghancurkan Jayakatwang dari Kerajaan Gelang-gelang (Kediri) dan tentara Tartar.
Wiajaya menentang dan mendirikan Kerajaan Majapahit dengan pusatnya di Mojokerto. Arya Wiraraja mendapat hadian sebelah timur di Lamajang. Setelah Wijaya meninggal dan digantikan Jayanegara , lantas dilanjutkan Triuwana Tunggadewi. Pada masa dua raja ini, stabilitas Majapahit terkoyak. Terjadi pemberontakan raja-raja kecil, termasuk Lamajang yang dikenal dengan Perang Paragrek.
Peristiwa safari Raja Hayam Wuruk, pengganti Tribuasana Tunggadewi, ke berbagai daerah, seperti Krepa (Panarukan), Puger (Jember), Balitar (Blitar) dan Lamajang tercatat dalam kitab Negarakertagama, menurut Dwi, salah satu tujuannya adalah melakukan integrasi dalam kerangka doktrin politik: Amukti Palapa. Suatu doktrin yang berbenang merah dengan Cakrawala Manggala Jawa, lalu disambung Raja Kartanegara dari Singasari dengan Cakrawala Manggala Nusantara.
Kerajaaan Lamajang masih menjadi salah satu pusat pemerintahan penting sampai abad XVII. “Lamajang menjadi wilayah yang diperebutkan Mataran dengan Bali”, kata Aminuddin. HJ De Fraaf dalam buku Puncak Kekuasaan Mataram mencatat perang mataram versus Bali terjadi sekitar tahun 1635.
Masyarakat Biting punya versi tersendiri tentang situs tersebut. Situs itu dianggap peninggalan Kerajaan Lamajang dengan rajanya, Prabu Menak Koncar. Ada yang mengatakan nama Menak koncar ini adalah menteri pada zaman Majapahit.
Menak Koncar yang memiliki guru Sayid Abdurrahman, dikuburkan di kompleks pekuburan di Biting bersama Arya Wiraraja, Ratu Majapahit Kencono Wungu, beserta menterinya, Patih Lugender, dan marwulan, duta Majapahit untuk mengalahkan pemberontak Adipati Menakjinggo dari Blambang.
Bentuk kuburan mereka layaknya kuburan orang Muslim yang dikelilingi bata kuno, sebagaimana pos panginukan. Masih sebatas cerita tutur, nama Menak Koncar itu berkembang di Melayu dengan nama Hikayat Amir Hamzah.
Bisa dipastikan, munculnya tokoh fisik Menak Koncar adalah karena pengarah Islam. “Artinya, telah terjadi diakronis sejarah situs Biting”, kata Dwi. Bangunan pamuksan (tempat muksanya) Prabu Jayabaya pun di bangundi Pagu, Kediri.
Diakronis seperti itu ada “hikmanya”. Masyarakat lantas merasa jadi bagian dari sejarah lokal tersebut kanrena sebagian tokoh “legenda” itu adalah tokoh muslim. Tanpa pemahaman seperti itu, situs khazanah lintas masa ini mungkin sudah lenyap di telan bumi.
Sumber : Koran Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar